5 Hal Yang Menyebabkan Mandi Wajib
Segala puji bagi Allah, pujian yang terbaik untuk-Nya. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Saat ini kami akan menjelaskan beberapa hal yang berkenaan dengan mandi
(al ghuslu). Pada kesempatan kali ini kita akan mengkaji beberapa hal
yang mewajibkan seseorang untuk mandi (al ghuslu).
Yang dimaksud dengan al ghuslu secara
bahasa adalah mengalirkan air pada sesuatu. Sedangkan yang dimaksud
dengan al ghuslu secara syari’at adalah menuangkan air ke seluruh badan
dengan tata cara yang khusus. Ibnu Malik mengatakan bahwa al ghuslu
(dengan ghoin-nya didhommah) bisa dimaksudkan untuk perbuatan mandi dan
air yang digunakan untuk mandi. [1]
Beberapa hal yang mewajibkan untuk mandi (al ghuslu):
Pertama: Keluarnya mani dengan syahwat.
Sebagaimana dijelaskan oleh ulama Syafi’iyah, mani bisa dibedakan dari madzi dan wadi[2] dengan melihat ciri-ciri mani yaitu:
[1] baunya khas seperti bau adonan roti ketika basah dan seperti bau telur ketika kering,
[2] birnya memancar,
[3] keluarnya terasa nikmat dan mengakibatkan futur (lemas).
Jika salah satu syarat sudah terpenuhi, maka cairan tersebut disebut
mani. Wanita sama halnya dengan laki-laki dalam hal ini. Namun untuk
wanita tidak disyaratkan air mani tersebut memancar sebagaimana
disebutkan oleh An Nawawi dalam Syarh Muslim dan diikuti oleh Ibnu
Sholah.[3]
Dalill bahwa keluarnya mani mewajibkan untuk mandi adalah firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ
سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي
سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti
apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam
keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS.
An Nisa’: 43)
Dalil lainnya dapat kita temukan dalam hadits Abu
Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ
“Sesungguhnya (mandi) dengan air disebabkan karena keluarnya air (mani).” (HR. Muslim no. 343)
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, yang menyebabkan seseorang mandi
wajib adalah karena keluarnya mani dengan memancar dan terasa nikmat
ketika mani itu keluar. Jadi, jika mani tersebut keluar tanpa syahwat
seperti ketika sakit atau kedinginan, maka tidak ada kewajiban untuk
mandi. Berbeda halnya dengan ulama Syafi’iyah yang menganggap bahwa jika
mani tersebut keluar memancar dengan terasa nikmat atau pun tidak, maka
tetap menyebabkan mandi wajib. Namun pendapat yang lebih kuat adalah
pendapat jumhur (mayoritas) ulama.[4]
Lalu bagaimana dengan orang yang mimpi basah?
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Terdapat ijma’ (kesepakatan)
ulama mengenai wajibnya mandi ketika ihtilam (mimpi), sedangkan yang
menyelisihi hal ini hanyalah An Nakho’i. Akan tetapi yang menyebabkan
mandi wajib di sini ialah jika orang yang bermimpi mendapatkan sesuatu
yang basah.”[5]
Dalil mengenai hal ini adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الرَّجُلِ يَجِدُ
الْبَلَلَ وَلاَ يَذْكُرُ احْتِلاَمًا قَالَ « يَغْتَسِلُ ». وَعَنِ
الرَّجُلِ يَرَى أَنَّهُ قَدِ احْتَلَمَ وَلاَ يَجِدُ الْبَلَلَ قَالَ «
لاَ غُسْلَ عَلَيْهِ ». فَقَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ الْمَرْأَةُ تَرَى ذَلِكَ
أَعَلَيْهَا غُسْلٌ قَالَ « نَعَمْ إِنَّمَا النِّسَاءُ شَقَائِقُ
الرِّجَالِ ».
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah
ditanya tentang seorang laki-laki yang mendapatkan dirinya basah
sementara dia tidak ingat telah mimpi, beliau menjawab, “Dia wajib
mandi”. Dan beliau juga ditanya tentang seorang laki-laki yang bermimpi
tetapi tidak mendapatkan dirinya basah, beliau menjawab: “Dia tidak
wajib mandi”.” (HR. Abu Daud no. 236, At Tirmidzi no. 113, Ahmad 6/256.
Dalam hadits ini semua perowinya shahih kecuali Abdullah Al Umari yang
mendapat kritikan[6]. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
hasan)
Juga terdapat dalil dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ امْرَأَةُ أَبِى طَلْحَةَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ –
صلى الله عليه وسلم – فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ اللَّهَ لاَ
يَسْتَحْيِى مِنَ الْحَقِّ ، هَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا
هِىَ احْتَلَمَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « نَعَمْ
إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ »
“Ummu Sulaim (istri dari Abu Tholhah)
datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran.
Apakah bagi wanita wajib mandi jika ia bermimpi?” Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam menjawab: “Ya, jika dia melihat air.” (HR. Bukhari no.
282 dan Muslim no. 313)
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan,
“Hadits-hadits di atas adalah sanggahan bagi yang berpendapat bahwa
mandi wajib itu baru ada jika seseorang yang mimpi tersebut merasakan
mani tersebut keluar (dengan syahwat) dan yakin akan hal itu.”[7]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan
hadits di atas berkata, “Pada saat itu diwajibkan mandi ketika melihat
air (mani), dan tidak disyaratkan lebih dari itu. Hal ini menunjukkan
bahwa mandi itu wajib jika seseorang bangun lalu mendapati air (mani),
baik ia merasakannya ketika keluar atau ia tidak merasakannya sama
sekali. Begitu pula ia tetap wajib mandi baik ia merasakan mimpi atau
tidak karena orang yang tidur boleh jadi lupa (apa yang terjadi ketika
ia tidur). Yang dimaksud dengan air di sini adalah mani.”[8]
Kedua: Bertemunya dua kemaluan walaupun tidak keluar mani.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ
“Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya
(maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh
kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari no. 291 dan Muslim
no. 348)
Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,
وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
“Walaupun tidak keluar mani.”
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ
الرَّجُلِ يُجَامِعُ أَهْلَهُ ثُمَّ يُكْسِلُ هَلْ عَلَيْهِمَا الْغُسْلُ
وَعَائِشَةُ جَالِسَةٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «
إِنِّى لأَفْعَلُ ذَلِكَ أَنَا وَهَذِهِ ثُمَّ نَغْتَسِلُ ».
“Seorang
laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya namun tidak sampai
keluar air mani. Apakah keduanya wajib mandi? Sedangkan Aisyah ketika
itu sedang duduk di samping, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Aku sendiri pernah bersetubuh dengan wanita ini (yang
dimaksud adalah Aisyah, pen) namun tidak keluar mani, kemudian kami pun
mandi.” (HR. Muslim no. 350)
Imam Asy Syafi’i rahimahullah
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “junub” dalam bahasa Arab
dimutlakkan secara hakikat pada jima’ (hubungan badan) walaupun tidak
keluar mani. Jika kita katakan bahwa si suami junub karena berhubungan
badan dengan istrinya, maka walaupun itu tidak keluar mani dianggap
sebagai junub. Demikian nukilan dari Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul
Bari.[9]
Ketika menjelaskan hadits Abu Hurairah di atas, An Nawawi
rahimahullah mengatakan, “Makna hadits tersebut adalah wajibnya mandi
tidak hanya dibatasi dengan keluarnya mani. Akan tetapi, -maaf- jika
ujung kemaluan si pria telah berada dalam kemaluan wanita, maka ketika
itu keduanya sudah diwajibkan untuk mandi. Untuk saat ini, hal ini tidak
terdapat perselisihan pendapat. Yang terjadi perselisihan pendapat
ialah pada beberapa sahabat dan orang-orang setelahnya. Kemudian setelah
itu terjadi ijma’ (kesepakatan) ulama (bahwa meskipun tidak keluar mani
ketika hubungan badan tetap wajib mandi) sebagaimana yang pernah kami
sebutkan.”[10]
Ketiga: Ketika berhentinya darah haidh dan nifas.
Dalil mengenai hal ini adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada Fathimah binti Abi Hubaisy,
فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِى الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّى
“Apabila kamu datang haidh hendaklah kamu meninggalkan shalat. Apabila
darah haidh berhenti, hendaklah kamu mandi dan mendirikan shalat.” (HR.
Bukhari no. 320 dan Muslim no. 333).
Untuk nifas dihukumi sama
dengan haidh berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Asy Syaukani
rahimahullah mengatakan, “Mengenai wajibnya mandi karena berhentinya
darah haidh tidak ada perselisihan di antara para ulama. Yang
menunjukkan hal ini adalah dalil Al Qur’an dan hadits mutawatir (melalui
jalur yang amat banyak). Begitu pula terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama
mengenai wajibnya mandi ketika berhenti dari darah nifas.”[11]
Keempat: Ketika orang kafir masuk Islam.
Mengenai wajibnya hal ini terdapat dalam hadits dari Qois bin ‘Ashim radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّهُ أَسْلَمَ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَغْتَسِلَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
“Beliau masuk Islam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkannya untuk mandi dengan air dan daun sidr (daun bidara).”
(HR. An Nasai no. 188, At Tirmidzi no. 605, Ahmad 5/61. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Perintah yang berlaku untuk
Qois di sini berlaku pula untuk yang lainnya. Dalam kaedah ushul, hukum
asal perintah adalah wajib.[12] Ulama yang mewajibkan mandi ketika
seseorang masuk Islam adalah Imam Ahmad bin Hambal dan pengikutnya dari
ulama Hanabilah[13], Imam Malik, Ibnu Hazm, Ibnull Mundzir dan Al
Khottobi[14].
Kelima: Karena kematian.
Yang dimaksudkan
wajib mandi di sini ditujukan pada orang yang hidup, maksudnya orang
yang hidup wajib memandikan orang yang mati. Jumhur (mayoritas) ulama
menyatakan bahwa memandikan orang mati di sini hukumnya fardhu kifayah,
artinya jika sebagian orang sudah melakukannya, maka yang lain gugur
kewajibannya.[15] Penjelasan lebih lengkap mengenai memandikan mayit
dijelaskan oleh para ulama secara panjang lebar dalam Kitabul Jana’iz,
yang berkaitan dengan jenazah.
Dalill mengenai wajibnya memandikan
si mayit di antaranya adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada Ummu ‘Athiyah dan kepada para wanita yang melayat untuk
memandikan anaknya,
اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مَنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
“Mandikanlah dengan mengguyurkan air yang dicampur dengan daun bidara
tiga kali, lima kali atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu dan
jadikanlah yang terakhirnya dengan kafur barus (wewangian).” (HR.
Bukhari no. 1253 dan Muslim no. 939).
Berdasarkan kaedah ushul,
hukum asal perintah adalah wajib. Sedangkan tentang masalah ini tidak
ada dalil yang memalingkannya ke hukum sunnah (dianjurkan). Kaum
muslimin pun telah mengamalkan hal ini dari zaman dulu sampai saat ini.
Yang wajib dimandikan di sini adalah setiap muslim yang mati, baik
laki-laki atau perempuan, anak kecil atau dewasa, orang merdeka atau
budak, kecuali jika orang yang mati tersebut adalah orang yang mati di
medan perang ketika berperang dengan orang kafir.[16]
Lalu bagaimana dengan bayi karena keguguran, wajibkah dimandikan?
Jawabannya, dapat kita lihat dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih
Al Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata, “Jika bayi karena keguguran
tersebut sudah memiliki ruh, maka ia dimandikan, dikafani dan disholati.
Namun jika ia belum memiliki ruh, maka tidak dilakukan demikian. Waktu
ditiupkannya ruh adalah jika kandungannya telah mencapai empat bulan,
sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu….”[17]
Demikian pembahasan singkat ini.
Semoga bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu
‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.
Minggu, 10 Februari 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar